Selasa, 16 Agustus 2011

Gerakan Oposisi Lokal Aceh


Oleh: J. Kamal Farza*


Catatan Kecil Perjalanan


Tulisan ini berawal dari dialog dengan seorang teman dalam sebuah perjalanan dari Arhus ke Copenhagen yang berlangsung beberapa waktu yang lalu. Menikmati perjalanan di awal musim gugur di saat daun daun mulai berganti warna serta memandang daerah pedesaan bangsa Viking kuno adalah pengalaman yang baru. Keindahan alam, masyarakat dengan tertib sosial yang tinggi serta kemakmuran dan kesejahteraan adalah kata – kata kunci untuk menggambarkan sebuah Denmark yang juga mewakili gambaran negara – negara Skandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia) secara persis. Sebagai catatan saja, laporan Human Develpoment Index PBB yang dirilis pada 5 Oktiber 2009 menempatkan hampir seluruh negara – negara ini pada tempat teratas negara dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan paling tinggi di dunia, di mana Norway menempati posisi pertama, Swedia urutan ketujuh, dan Denmark urutan keenambelas (http://en.wikipedia.org/wiki/Human_Development_Index).


Riwayat Perubahan
Tentu pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan ini adalah proses yang panjang. Yang pertama diterapkan adalah aturan dasar di dalam hubungan sosial, politik dan ekonomi. Aturan ini tidak hanya sekedar hokum dasar yang mengatur ketertiban ekonomi, sosial dan politik, tetapi juga menjadi panduan etika yang lambat laun berproses menjadi kebudayaan modern di dalam masyarakat Denmark. Untuk hal yang kecil, dengan etika ini, saya dapat meilihat kota kota di Denmark yang bersih meski larangan membuang sampah tidak ditemukan di mana mana. Juga di jalan raya, ketika tengah malam, para pejalan kaki maupun pemilik kendaraan bermotor akan tetap sabar mengikuti aturan lampu pengatur jalan meski tak ada satupun polisi yang mengawasi.


Meskipun masyarakatnya taat hukum dan terinternalisasi dalam kehidupan keseharian, tidak pernah ditemukan terjadi kasus di mana masyarakatnya main hakim sendiri atas nama ‘penegakan hukum’ yang dengan mudahnya menghakimi pelaku (yang masih dugaan) dengan cara cara tidak beradab seperti membenamkan dan memandikannya ke parit, atau memperkosa seorang perempuan secara beramai ramai hanya dengan alasan yang bersangkutan melakukan tindakan mesum dan ‘menodai kesucian’ wilayah tempat kejadian perkara. Tingkat krimimalitas dan pelanggaran hukum sangat sangatlah rendah, baik pencurian maupun korupsi sangat jarang ditemukan kasusnya meski hukum di Denmark tidak menggunakan ancaman potong tangan, cambuk ataupun rajam. Kesadaran masyarakat dalam konteks etika hukum dalam relasi sosial, ekonomi dan politik menjadikan modal utama bagi negara – negara seperti Denmark untuk maju dan berkembang.


Selain hukum dan etika juga masalah mentalitas. Kemauan komunal untuk membangun masyarakat yang lebih baik secara bersama adalah modal dasar dan utama yang dimiliki masyarakat Denmark dan seharusnya juga dimiliki oleh setiap masyarakat ‘normal’ lainnya. Dengan mentalitas “membangun secara bersama”, kompetisi yang muncul menciptakan jurang sosial yang ekstrim. Adalah pemandangan yang umum melihat tokoh politik ataupun seorang professor senior hanya berjalan kaki, atau menggunakan sepeda butut sebagai sarana transportasinya.


Meskipun Denmark adalah sebuah negera sekuler, namun kompetisi yang ada tidak menggiring masyarakatnya pada sikap tamak dan serakah. Sehingga dalam konteks Denmark, dapat diasumsikan bahwa tidak akan mudah ditemukan orang – orang yang dengan serakahnya memanfaatkan penderitaan akibat bencana untuk mendapatkan rumah ganda – berkali lipat, atau juga para orang kaya yang ‘rela’ menyewakan rumahnya dengan biaya tinggi dan kemudian memilih tinggal di barak untuk mendapatkan bantuan gratis dan (mungkin) juga bantuan rumah. Mentalitas ini ikut membantu mencegah korupsi dan manipulasi di dalam masyarakat Denmark yang ‘tidak suka pamer’ tersebut.


Masalah mentalitas dan profesionalsime aparatur pemerintahan juga menjadi factor penting dalam membangun perubahan di Denmark. Disadari, ‘Reformasi’ birokrasi di bidang ini membutuhkan waktu yang lebih lama dari bidang lainnya. Sehingga tidak perlu heran jika sebuah instansi, sebutlah rumah sakit, meskipun memiliki fasilitas yang canggih dan gedung yang masih melekat aroma catnya, namun pelayanannya tidaklah seindah gedungnya, — pun tidak secanggih peralatannya.


Pengadaan fasilitas informasi dan teknologi di pemerintahan juga tidak dengan serta merta meningkatkan profesionalisme pelayanan masyarakat. Peralatan – peralatan komputer yang tersedia di setiap instansi pemerintahan cenderung lebih sering digunakan dengan kesadaran penuh untuk mengisi waktu yang (seakan) selalu luang dengan aktifitas ‘kreatif’ seperti bermain solitaire, Tetris, chatting atau membuka facebook.


Tentu gambaran – gambaran di atas nyaris menjadi sejarah di banyak negara maju seperti Denmark. Aparatus pemerintahan adalah pelaku utama dalam pelayanan publik, akan tetapi jika mentalitas – profesionalisme seperti yang tergambarkan di atas masih melekat maka pembangunan dan perubahan yang diselalu dikampanyekan hanya tinggal slogan yang melekat pada poster, baliho ataupun billboard. Satu hal yang menarik, berbicara masalah poster, baliho ataupun billboard, hampir tidak ditemukan wajah – wajah pemimpin publik dengan slogan – slogan ‘besar’ di Denmark atau di beberapa kota kota Eropa yang saya kunjungi. Bagi saya yang awam, membandingkan Banda Aceh dengan setiap sudut jalan dan instansi yang selalu dihiasi dengan wajah ‘ganteng’ dan ‘cantik’ para pejabat publiknya, tentulah para tokoh/pejabat di eropa harus lebih ‘pede’ untuk memasang wajahnya, selain program pembangunanya relative berhasil, ya dari segi rupa atau wajah, para pejabat publik di eropa juga tidak dapat dikatakan buruk. Namun aktifitas yang senang mengiklankan diri (narsistik) sendiri ini dianggap ‘kampungan’ dan aneh oleh masyarakat eropa pada umumnya, apalagi diluar masa kampanye (dan apalagi realitanya masih banyak hal yang “maaf” belum bisa dibanggakan).


Faktor lain yang sangat menentukan adalah pengelolaan pemerintahan. Denmark, sebagai negara monarki tertua di dunia ini (dimulai sejak 900 M) dan berpenduduk 5,4 juta jiwa (2008) bukanlah negara yang memiliki hasil alam yang melimpah seperti Indonesia, bahkan dengan skala perbandingan hasil alam mineral dan pertanian, Aceh dapat disimpulkan lebih kaya dari Denmark. Namun kaya akan hasil alam tidak selalu menjamin sebuah negara atau wilayah akan makmur – sejahtera. Tidaklah susah untuk mengingat bahwa ada banyak wilayah yang kaya terjebak pada konflik atau perang. Salah satu sebab utama dari konflik konflik yang muncul sebagai akibat dari kemisikinan struktural yang memiskinkan rakyatnya sendiri secara sistematis.


Gejala ini terlihat secara telanjang di banyak negara – negara sedang berkembang, dimana sumber daya yang melimpah dikorup secara fantatsis oleh segilintir golongan. Program – program pembagunan hanya terjebak pada jargon – jargon besar dan terkadang dikaitkan dengan istilah istilah global, seperti good governance, green vision, pemakmuran masyarakat, dst. Ironinya program – program ini belum menyentuh dan mengubah kondisi yang ada. Alasanya sangat sederhana, pemerintah sendiri tidak memiliki strategi dan kapasitas (manajemen) dalam pelaksanaan program tersebut.


Tentu pemain kunci dari semua keadaan ini adalah pemimpin pemerintahan yang menjadi ‘supir’ pembangunan. Mengambil contoh Singapore dan Malasysia, Lee Kuan Yew dan Mahatthir Mohammad menjadi ‘supir’ yang menentukan kemajuan negara teserbut, kita juga mengenal Deng Xiaping di Cina, Khadafi di Libya,


Pembangunan menuju perubahan yang lebih baik mebutuhkan ‘supir’ yang handal, apalagi jika jalan yang dilalui terasa tidak mudah.


Aceh Hendak Kemana?


Tentu secara sadar saya tidak akan membadingkan pada momentum waktu yang sama antara Aceh dan Denmark ataupun dengan negara Skandinavia lainnya di mana para pencari suaka politik Aceh menikmati tingkat kesejahateran tertinggi di dunia saat ini. Tetapi tentu tidak salah jika saya dan banyak masyarakat Aceh di Skandinavia memimpikan Aceh suatu saat dapat menjadi sejahatera dan makmur. Dengan segala peluang yang dimiliki Aceh saat ini, seharusnya ada banyak kemajuan yang bisa dicapai Aceh dalam 3 tahun pemerintahan Irwandi – Nazar, sebagai perbandingan, Provinsi Gorontalo, atau Kabupaten Jembrana, dengan segala keterbatasan yang ada dan tidak memiliki status ke’khususan’ seperti Aceh, pemimpin kedua wilayah tersebut telah berhasil mengangkat taraf hidup masyarakatnya. Dan ini tidak berlebihan mengigat sumber daya alam dan potensi yang dimiliki oleh Aceh.


Persoalannya untuk memulai ke arah sana, Aceh membutuhkan seorang figur pemimpin yang bukan hanya mahir mengendarai mobil ketika dalam kondisi ‘stroke’ akan tetapi sejatinya membawa perubahan yang jelas, berarti, terasa, teraba dan terlihat. Sulit dibayangkan pemimpin saat ini akan membawa perubahan dan kemajuan jika hampir tiga tahun terakhir semakin nyata ketidakmampuannya dalam melaksanakan pembangunan dan mengelola anggaran dengan indikator penyerapan anggran yang rendah dan kualitan pembagunan yang belum memenuhi standar. Yang sangat memalukan adalah sikap cenderung menyalahkan ‘Jakarta’ yang sering terlontar saat ini, “Jakarta belum ikhlas”, atau “UUPA masih belum sesuai dengan MoU”, mungkin semua itu benar secara subyektif, akan tetapi rendahnya tingkat penyerapan angaran dan pembagunan yang seolah tanpa visi hanya menunjukan satu fakta bahwa pemerintahan Aceh sekarang memang tidak mampu membawa perubahan ke-arah lebih baik.


Bahkan upaya – upaya perbaikan secara signifikan belum terlihat oleh masyarakat seperti pergantian Kepala Dinas yang tidak memiliki kualifikasi, atau memperbanyak perhatian pada pengelolaan pembangunan saat ini daripada alasan menggelikan ‘berburu’ investor ke luar negeri yang belum membawa hasil berarti kepada Aceh. Secara sederhana, seorang pemimpin yang paling pikun sekalipun (bahkan tidak dibutuhkan seorang ahli strategi) akan memilih untuk lebih banyak memberikan perhatiannya kepada penyerapan angaran yang masih tersisa triliunan rupiah daripada berburu investor dengan investasi triliunan rupiah yang masih di dalam mimpi. Dengan angka kemiskinan yang masih tinggi 21, 80 % (2009) berbanding dengan anggaran pembangunan yang besar namun hanya terserap sebagian kecil, secara awam dapatlah disimpulkan bahwa ada sesuatu yang salah dari cara pengelolaan pembangunan saat ini. Dan tentunya Gubernur Aceh yang dibantu oleh dukungan puluhan cerdik pandai baik sebagai Tim Ahli maupun Tim Asistensi dapat dengan mudah mendeteski dan memperbaiki masalah – masalah yang ada dalam pembangunan di Aceh.


Untunglah kehadiran BRR dan lembaga donor/NGO lainnya dapat menutup segala kekurangan pemerintahan Irwandi – Nazar saat ini. Jikapun masih muncul pandangan miring terhadap pembangunan di Aceh, maka sebagian anggota lingkaran elit pemerintahan Aceh dapat berdalaih kepada masyarakat mengenai ‘kesalahan’ Jakarta atau adanya regulasi yang belu jelas. Retorika ini paling kurang dapat menutupi ‘impotensi’ Pemerintah Aceh namun sejatinya tidak pernah menyelesaikan masalah kronis yang ada. Kontrol pembagunan yang seharusnya muncul dari lembaga parlemen lokal juga tidak berjalan sesuai harapan dan gerakan oposisi hanya muncul dari kalangan NGO dan mahasiswa dengan isu yang lebih terbatas dan temporer. Untuk ke depan juga akan tidak mudah jika berharap terlalu banyak akan munculnya kelompok oposisi di dalam DPRA (atau DPRK) mengingat


Kepala Pemerintahan Aceh adalah unsur yang berasal dari partai yang ‘mendominasi’ parlemen saat ini. Dengan kondisi ini, maka lahirnya gerakan opisisi yang konsisten diluar parlemen meruakan suatu keharusan sejarah, bukan saja untuk memberi bobot pada demokrasi (secara ideal), tetapi juga sejatinya untuk membantu pemerintahan Irwandi Nazar dalam membangun Aceh lebih baik, sebuah harapan di waktu yang masih tersisa.


Lantas, “kita harus mulai gerakan ini sekarang, Bang!” ujar teman saya, sambil berjabat tangan melepaskan keberangkatan saya dan teman lainnya ke Amstedam. Di bawah langit malam eropa utara yang dingin dan sayu, saya menjawab “insya Allah”, meski jalan tidak mudah untuk itu.

Arhus – Copenhagen – Amsterdam, 2009.
—

* Peminat Gerakan Sosial dan Praktisi Hukum, Banda Aceh

* Pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, 2 Desember 2009

Jumat, 08 April 2011

Hukum Olok-olok yang Berbahaya

Oleh: J Kamal Farza

Debat keprihatinan mengemuka di beberapa situs jejaring sosial dan situs berita dalam dua hari terakhir. Debatnya ketika berita pencambukan seorang photografer dilangsungkan di Jantho, Aceh Besar. Photografer dicambuk? Iya inilah sebuah kenyataan pahit bekerja sebagai profesional di Aceh. Tak ada lindungan hukum.

Adalah Rudi Setia Yudha, 40 tahun, dan Bunga (bukan nama sebenarnya, model yang dipotretnya) 18 tahun. Yudha dicambuk 7 kali dan Bunga 4 kali. Pertanyaannya, apakah menjadi photografer dan memoto itu melanggar syariah? Tentu saja tidak. Ia dicambuk dengan tuduhan warga, bahwa dua pasangan ini berbuat mesum. Sudah begitu mesumkah otak warga?

Simaklah kisah tentang awal kejadian itu di sini: Duh, Mereka Melecehkan Perempuan Itu

Jumat (8/4) siang, di hadapan ratusan orang, Yudha dan Bunga menjalani prosesi cambuk di halaman Masjid Almunawarah Kota Jantho. Mereka harus menjalani hukuman atas tuduhan yang belum pernah dibuktikan kesalahannya itu.

***


Dari kisah ini, saya mencoba melakukan analisis seobjektif mungkin, dari kacamata saya sebagai praktisi hukum.

Pertama, Yudha seorang photografer, yang menggantungkan hidupnya dan keluarga dari hasil memotret. Sebagai photografer, ia pasif, hanya menerima orderan, baik memotret di tempat, studio photo, dalam hal ini rumahnya sendiri.

Sebagai photografer bermodal kecil, barangkali Yudha belum mampu membangun studio photo sehebat Darwis Triady, atawa Arbain Rambe, Yudha hanya menggunakan lantai dua rumah yang dihuni bersama keluarganya. Memang Yudha sering menggelar sesi pemotretan dirumahnya. Model yang dipotretnya juga masih dalam pose yang wajar. "Di rumah waktu itu juga ada pembantu kami, pintu rumah terbuka, Abang sering melakukan pemotretan di rumah," kata Nada, Istri Yudha.

Sebagai photografer, atau memilih profesi photografer, tentunya bukan kegiatan ilegal yang berlawanan dengan hukum. Tak ada hukum apapun di dunia ini, yang melarang sesesorang menjadi photografer. Jadi, Yudha tidak dicambuk oleh karena dirinya seorang photografer.

Kedua, saat pengambilan photo itu, tiba-tiba datang tamu yang tak diundang. Puluhan orang kampung menuding dirinya melakukan kegiatan mesum. Yudha dituding sedang melakukan pemotretan telanjang. warga menghardik mereka.

Dari kisah itu, ada sejumlah orang yang berotak mesum mencurigai kegiatan Yudha dan menyusun skenario fitnah. Lalu mulailah melakukan penggeledahan, layaknya polisi. Kegiatan penggeledahan ini, pastinya tidak ada surat perintah, tidak ada kata Pro Justisia, lebih mirip demonstrasi tapi ini dengan muka-muka yang bengis.

Pertanyaannya, siapa yang memberikan mandat kepada warga untuk melakukan penangkapan dan penggeledahan? Sudah demikian jahiliyah-kah kita, sehingga bisa seenaknya menyerang, menangkap, melecehkan orang? Sudah demikian parahkah situasi negeri ini, sehingga hukum tak mampu melindungi penyerangan orang, dan bahkan yang diserang itu kemudian dicambuk?

Akankah kita kembali ke zaman tidak berperadaban, karena hukum tak melindungi properti dan hak-hak warga negara?

Baca kutipan ini: “Dalam pemeriksaan, sebenarnya polisi tak bisa menjerat Yudha dengan tudingan warga itu. Malah orang tua Bunga, melaporkan balik Sabirin, salah seorang Tuha Peuet, yang diduga melecehkan Bunga. Tapi karena takut diamuk massa, akhirnya polisi melimpahkan kasus Yudha ke Wilayatul Hisbah.” Semestinya, polisi menghentikan perkara Yudha tapi memproses perkara penyerangan ilegal oleh warga. Tetapi malah, karena lebih gampang, Yudha malah diserahkan ke WH.

Ketiga, dari kisah ini ada pelecehan serius terhadap perempuan sekaligus terhadap hukum positif yang berlaku di Indonesia. “Bunga sang model, malah ditarik-tarik dan dilecehkan. Nada, istri Yudha, menyaksikan, salah seorang anggota Tuha Peut Kampung Ajun Jeumpit, meremas dada dan memegang kemaluan Bunga. Selanjutnya Yudha dan Bunga digelandang warga ke markas kepolisian.”

Pelecehan terhadap perempuan sangat terang bisa dibaca dari deskripsi berita di atas, seorang facebooker menuding: “Mereka terbiasa melecehkan saudara perempuannya atau ibunya sendiri..”

Secara hukum negara dan agama, perbuatan pelecehan itu adalah nista dan melanggar hukum. Tetapi, seberapa berat hukuman yang akan diterima oleh orang yang semestinya bersalah itu? Belum ada yang tahu.

Keempat, jika kutipan berita ini benar, -- "Kami awalnya setuju biar warga tenang selama proses mediasi berlangsung, tapi tiba-tiba sudah ada putusan yang mengatakan Abang harus dicambuk," kata Nada.” – berarti hukum syariah itu negoisiasi. Jika itu yang terjadi, maka di mana kesakralan Syariahnya?

Saya mendengar, banyak sekali gosip yang menyebutkan, orang-orang yang ditangkap oleh WH dan atau warga diserahkan ke WH, kemudian bisa lepas setelah negoisasi.

Kelima, proses pencambukan itu, apakah sudah ada keputusan Mahkamah Syariah, -- sebagai institusi pengadilan yang melanggar hukum Tuhan? Sayang sekali, pemberitaan tidak menyebutkan keputusan Mahkamah Syariah tanggal berapa dan apa putusannya. Jika tidak ada putusan mahkamah, maka penghukuman terhadap Yudha dan Bunga, merupakan tindakan kejam yang merendahkan derajat kemanusiaan. Sebaiknya, Yudha dan Bunga harus melanjutkan kasus ini ke Komnas Hak Asasi Manusia, biar menjadi agenda nasional untuk memprosesnya lebih lanjut.

***

Saya seperti kebanyakan warga lain, miris dengan peristiwa ini. Syariah yang semestinya memberikan kenyamanan, kesejahteraan dan kepastian bagi umatnya dan setiap warga, berubaha menjadi momok yang menakutkan bagi semua orang. Ketika semua orang boleh mencurigai, melakukan penggeledahan, penangkapan dan bahkan menjadi penuntut bagi seseorang yang belum tentu bersalah, maka di situ setiap orang dibawa ke alam ketakutan dan kecemasan. Di situlah kita kembali bisa dianggap biadab.

Seseorang bisa seenak hati difitnah dan dijadikan tersalah yang kemudian tanpa mekanisme yang fair bisa dicambuk. Timbul pertanyaan sederhana, sudah sebegitu burukkah mental kita? Seberapa inginkah kita kembali, ke zaman homo homini lupus, di mana keadilan dipahami ketika yang kuat telah menghajar yang lemah.

Hukum acara pidana syariah, apakah sudah ada? Bagaimana memeriksa, menyelidiki, menyidik sebuah peristiwa hukum sehingga bisa menetapkan seseorang jadi tersangka dan memutuskan bersalah?

Lalu bagaimana mekanisme rehabilitasi seseorang yang sudah terlanjur ditetapkan bersalah, padalah ia tidak bersalah? Bagaimana mekanisme gantiruginya?

Dua hal terakhir ini sangat penting, untuk dipikirkan oleh pengemuka syariah Islam di Aceh, supaya Islam yang merupakan rahmatan lil alamin, tidak menjadi olok-olok pengamat tentang Aceh. Supaya syariah Islam tidak menjadi hukum olok-olok yang memalukan dan memilukan. []

Penulis adalah Advokat/Penasehat Hukum The Atjeh Post

Tulisan ini dipublikasikan The Atjeh Post, Sabtu 9 April 2011

Tentang Iklan Antikorupsi Partai Aceh

Sebuah iklan kelihatan menonjol di halaman pertama sebuah surat kabar lokal. Iklan tersebut sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi menjadi luar biasa ketika, iklan tersebut dipasang oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Aceh – sebuah partai yang saat ini mendominasi penguasaan kursi legislatif baik di level provinsi, DPRA maupun di level kabupaten/kota, DPRK.

Iklan yang dibuat Muzakir Manaf dan Muhammad Yahya masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Aceh tersebut isinya,

“Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh menyatakan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan mendukung sepenuhnya kerja-kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baik di tingkat nasional secara umum, maupun di tingkat Aceh secara khusus.

Partai Aceh juga berkomitmen dan akan menindak tegas siapapun kader-kader partai yang terlibat melakukan korupsi.

Partai Aceh juga bersedia melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga dan pegiat –pegiat antikorupsi baik tingkat Aceh, nasional maupun internasional.”

Iklan itu dibaca luas dan kemudian disebarkan secara luas kepada publik melalui jaringan sosial Facebook. Ada pro dan kontra tentang isi iklan, ada yang memuji tetapi banyak pula yang mencemooh. Bahkan sebagian orang menganggap, itu kampanye menjelang pemilihan kepala daerah.

Saya bisa memahami mereka yang kontra. Mengingat dalam beberapa tahun terakhir, mereka melihat korupsi terjadi di Aceh dan sepertinya terbiarkan tanpa ada tindak lanjut.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misanya, hingga Juni 2010 telah menerima 800 pengaduan tindak pidana korupsi di Aceh. Dari jumlah itu, “KPK telah menindaklanjuti 155 pengaduan. 25 pengaduan ditangani oleh kepolisian, 28 pengaduan ditangani oleh Kejagung," kata Lutfi Ganda Supriadi, staf Litbang KPK.

Dengan 800 kasus yang dilaporkan dan belum ada satu pun yang ditangani, mengesankan, KPK takut masuk ke Aceh, karena Aceh dikawal oleh Partai Aceh – selaku partai dominan yang menguasai pemerintahan dan legislatif. Karena itu, komitmen terbuka yang disampaikan oleh dua petinggi Partai Aceh menjadi signal yang sangat positif bagi lembaga-lembaga pemberantasan korupsi untuk segera melakukan action, menggebuki para koruptor.

Yang ingin disampaikan oleh Partai Aceh dalam iklan publik itu adalah,

Pertama, Partai Aceh (PA) bukanlah partai korup, dan karna itu, PA komit dan siap membantu kerja-kerja pemberantasan korupsi oleh siapa pun termasuk oleh KPK.

Kedua, Partai Aceh (PA) bukanlah partai korup, dan karna itu, PA komit menyingkirkan kader-kader korup di tubuh partai, di legislatif, dan di eksekutif, dan menyerahkannya kepada aparat penegak hukum.

Ketiga, Partai Aceh membuka diri untuk menerima siapa pun dan kerjasama dengan lembaga-lembaga mana pun, dalam rangka membersihkan Aceh dari korupsi.

Kita tahu, bahwa kejahatan korupsi adalah salah satu dari lima kejahatan besar yang dimusuhi bangsa-bangsa dunia: kejahatan terhadap kemanusiaan (humanrights), perdagangan dan penjualan orang (human trafficking), terorisme, dan narkotika.

Komitmen Partai Aceh itu, merupakan kabar gembira bagi semua kita, seluruh rakyat Aceh, masyarakat Indonesia dan juga masyarakat dunia. Aceh tak mungkin dibangun dengan baik, jika dikelilingi oleh pejabat-pejabat dan parlemen bermental korup. Aceh tak mungkin dikunjungi para investor bila investasi mereka berbiaya tinggi karena harus menyetor miliaran rupiah ke kantong pejabat korup.

Tinggal sekarang, kita tunggu dan lihat, apakah iklan ini akan mendatangkan keberanian bagi penegak hukum untuk menangkap para koruptor?

Saya percaya komitmen Partai Aceh adalah komitmen yang tulus. Dan saya mendukung itu!

| J. Kamal Farza | Praktisi Hukum & Konsultan Hukum TheAtjehPost

Tulisan ini pernah dimuat di The Atjeh Post, Thursday, 24 March 2011 1

Spirit Teungku Lah

Oleh J. KAMAL FARZA

KETIKA
saya mengunjungi Teungku Abdullah Syafi’e, Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka, di Gampong Sarah Panyang, Jiem-jiem, Pidie, dalam liputan persiapan milad Gerakan Aceh Merdeka, awal Desember 2000, saya sempat mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat personal kepada almarhum, “Apa maksud dan tujuan perjuangan yang sedang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka”?

Teungku Lah, begitu sapaan akrab Abdullah Syafi’e, menjawab, “Hai nyak, hana lee that yang tapeureulee lam perjuangan nyoe, kecuali lhee boh peukara. Peukara nyang phon, Bansa Aceh beucarong, jeut bek ditipee lee gop. Keudua, Bansa Aceh beukong, supaya bek dipoh lee gop, dan keu lhe, Bansa Aceh beukaya, jeut bek meugadee bak gop” (“Tidak banyak yang kita perlukan dalam perjuangan ini. Pertama, bangsa Aceh harus pintar, supaya tidak ditipu orang lain, Bangsa Aceh harus kuat supaya tidak dilecehkan orang lain, dan Bangsa Aceh harus kaya, supaya tidak mengemis pada orang lain”).

Apa yang disampaikan secara singkat oleh Tgk Lah tersebut, sangat visioner. Siapa pun yang berpikir bagi kemajuan Aceh, dapat menjabarkan lhee boh peukara itu ke dalam bahasa visi yang amat sangat mendasar untuk membuat Aceh lebih baik.

Pertama, harus pintar (beucarong). Orang Aceh harus memiliki pengetahuan luas untuk menguasai ilmu dan teknologi, agar mampu bersaing dengan masyarakat Indonesia lainnya dan masyarakat internasional. Harus ada orang Aceh yang cakap menjadi guru, bukan sekadar guru karena tidak memiliki pilihan pekerjaan yang lain. Orang Aceh harus ada yang menjadi dokter yang hebat, dengan sepesialisasi khusus jantung, bedah, tulang, atau lainnya. Harus ada orang Aceh yang menjadi dokter hewan yang memiliki kemampuan mengembangkan vaksin-vaksin baru guna menyembuhkan ternak-ternak Aceh yang handal, membuat dan mengembangkan sistem peternakan, sehingga kita tidak mengonsumsi lagi daging dan telor impor dari luar Aceh.

Harus ada sarjana atau ahli agama kita yang bukan saja memiliki kehebatan dalam berdebat soal syariah, tetapi bisa diandalkan membuat sistem hukum syariah yang memiliki kekuatan pemberdayaan ekonomi Islam, perbankan Islam, yang membuat si miskin menjadi kaya. Ahli syariah yang berani mengatakan, bahwa sistem syariah yang cilet-cilet, akan membentuk masyarakat dan pemimpin munafik dan hal ini justru merusak dan melecehkan Islam untuk jangka waktu yang lama.

Aceh harus memiliki insinyur-insinyur yang handal dalam teknologi, dan universitas tidak hanya bisa menghasilkan insinyur yang hanya berani menjadi pegawai negeri, untuk kemudian menjadi pimpinan proyek, kepala dinas, koruptor, dan akhirnya pensiun atau masuk penjara karena korupsi. Singkatnya, orang Aceh harus carong dan mampu menjadi pengelola sumberdaya yang luar biasa hebatnya di tanah Aceh, dan tentunya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.

Sedangkan bagi kalangan yang memerintah, visi Abdullah Syafi’e ini semakin memperkuat kemauan memajukan pendidikan Aceh. Jika orang yang sekarang memimpin masih teringat pesan ini, pastilah dia malu ketika kualitas pendidikan kita sedemikian buruknya, dari kualitas pendidikan daerah-daerah lain yang kemampuan keuangan daerahnya miskin dan mereka bukanlah daerah otonomi khusus seperti Aceh.

Kedua, harus kuat (beukong), ini sangat jelas, bahwa kita disuruh menambah kemampuan menjaga, memperkuat dan mempertahankan diri baik setiap orang maupun secara komunal. Kita harus memiliki waktu untuk berolahraga, dan handal dalam memenej tubuh supaya kuat. Gizi kita harus baik. Dan kita harus menghapus pantangan makan ikan di kalangan anak-anak kita, supaya otak mereka berisi dan mereka tidak mengantuk di sekolah.

Untuk yang lebih luas, kita memiliki kemampuan mengatur kekuatan gampong kita. Memiliki sistem yang kuat dalam menghadapi serangan provokator, dan kita memiliki kemampuan mengelola bencana, baik bencana alam maupun bencana dari para penjahat.

Bagi orang yang memerintah, tentunya, sejak awal dilantik langsung berpikir, bagaimana mengelola warganya supaya kuat. Bagaimana membuat dan merancang standard etika baru, sehingga potensi-potensi yang ada bisa dihandalkan, bukan untuk bertinju di luar arena, tetapi memenangkan tinju di ring tinju. Bukan memenangkan debat kusir di warung kopi, tetapi debat ilmiah di forum-forum lobi, sidang parlemen atau sidang di ruang pengadilan.

Ketiga, orang Aceh harus kaya. Dengan kepintaran, dengan kekuatan, kita mampu memperkuat ekonomi kita untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Aceh, secara eksplisit dalam pesan Teungku Lah, mengharamkan diri menjadi masyarakat pengemis, peminta-minta, tangan di bawah, dan menjadi hina di hadapan orang yang korup dan bertindak bagai dermawan yang memandang pengemis dengan sinis dan jijik.

Oleh karena itu, orang Aceh harus lebih keras bekerja, mengelola semua potensi yang ada untuk kemudian mengolahnya secara bertanggungjawab dan berkesinambungan. Setiap dalam diri orang Aceh, harus berpikir, bagaimana ia membangun rumah dengan tidak menebang pohon dan mengunduli hutan. Bagaimana ia membangun pelabuhan tetapi bukan dengan menghancurkan gunung, karena hal ini akan berdampak baik untuk ekonomi jangka pendek tetapi bencana bagi masa depan anak cucu kita.

Andai Pemerintah (orang) Aceh ingat pesan-pesan yang saya sebut sebagai visi Teungku Abdullah Syafi’e, saya memiliki keyakinan, dalam lima tahun pasca-Undang-undang Pemerintah Aceh, atau tiga tahun pasca-pilkada 2006, rakyat Aceh sudah terlihat memiliki kehidupan lebih baik, karena MoU Helsinki dan UU-PA dibuat dengan misi itu.

Andai almarhum Teungku Lah masih hidup, tentu kita masih bisa melihat raut wajahnya. Apakah bahagia atau kecewa melihat situasi ini. 22 Januari 2011, Teungku Lah genap 9 tahun sudah meninggalkan kita. Beliau wafat di Gampông Sarah Panyang, Jiem-jiem, Pidie, bersama istri dan lima pengawalnya. Kita doakan Allah swt menerima segala amal kebajikan almarhum.

Wasiat almarhum yang masih saya ingat adalah, “Meunyo bak saboh uroe ka tadeungo lé gata nyang bahwa lôn ka syahid, bèk tapeuseudéh dan putôh asa. Lantaran jeueb-jeueb watee lôn meulakee bak Po teuh Allah Beuneubri lôn syahid watèë Nanggroë geutanyoë ka toë bak mardéhka, meuseubab hana peurelèë sipeuë jabatan pih meunyo Nanggroë ka mardeka, nyang lon peureulee pemimpin beuamanah rakyat beuseujahtra” (“Jika suatu hari nanti kau dengar aku telah tiada, jangan bersedih dan putus asa, sebab setiap waktu aku berdoa semoga Allah memanggilku saat negeri ini belum merdeka. Aku tak butuh jabatan saat negeri ini merdeka, yang kubutuhkan, para pemimpin menjaga amanah agar rakyat sejahtera”).

Pertanyaannya, siapa yang masih ingat wasiat Teungku Lah. Seberapa tergetarkah kita mendengar wasiat ini, sehingga berjuang keras agar Aceh menjadi lumbung orang carong, orang kuat, dan orang kaya.

Merasakan kenyataan sekarang, sungguh saya merasa sedih. Sayup-sayup, dipojok warung kopi saya mendengarkan sindirin sekelompok anak muda yang resah dengan masa depan Aceh, seolah menyindir realita yang ada:
Ureung Aceh beubangai/ beu jeut dipropaganda sabe/ Ureung Aceh beuleumoh/ beu jeut dipeutakot le ureung bangai/ Ureung Aceh beugasim/ beujeut dipeulemoh ngen peng grik.”

* J. Kamal Farza adalah Lawyer pada Farza Lawfirm, Banda Aceh. Founder Tengku Hasan Tiro Institute.

Tulisan ini Pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia dan http://m.serambinews.com/news/view/47687/spirit-teungku-lah