Jumat, 08 April 2011

Hukum Olok-olok yang Berbahaya

Oleh: J Kamal Farza

Debat keprihatinan mengemuka di beberapa situs jejaring sosial dan situs berita dalam dua hari terakhir. Debatnya ketika berita pencambukan seorang photografer dilangsungkan di Jantho, Aceh Besar. Photografer dicambuk? Iya inilah sebuah kenyataan pahit bekerja sebagai profesional di Aceh. Tak ada lindungan hukum.

Adalah Rudi Setia Yudha, 40 tahun, dan Bunga (bukan nama sebenarnya, model yang dipotretnya) 18 tahun. Yudha dicambuk 7 kali dan Bunga 4 kali. Pertanyaannya, apakah menjadi photografer dan memoto itu melanggar syariah? Tentu saja tidak. Ia dicambuk dengan tuduhan warga, bahwa dua pasangan ini berbuat mesum. Sudah begitu mesumkah otak warga?

Simaklah kisah tentang awal kejadian itu di sini: Duh, Mereka Melecehkan Perempuan Itu

Jumat (8/4) siang, di hadapan ratusan orang, Yudha dan Bunga menjalani prosesi cambuk di halaman Masjid Almunawarah Kota Jantho. Mereka harus menjalani hukuman atas tuduhan yang belum pernah dibuktikan kesalahannya itu.

***


Dari kisah ini, saya mencoba melakukan analisis seobjektif mungkin, dari kacamata saya sebagai praktisi hukum.

Pertama, Yudha seorang photografer, yang menggantungkan hidupnya dan keluarga dari hasil memotret. Sebagai photografer, ia pasif, hanya menerima orderan, baik memotret di tempat, studio photo, dalam hal ini rumahnya sendiri.

Sebagai photografer bermodal kecil, barangkali Yudha belum mampu membangun studio photo sehebat Darwis Triady, atawa Arbain Rambe, Yudha hanya menggunakan lantai dua rumah yang dihuni bersama keluarganya. Memang Yudha sering menggelar sesi pemotretan dirumahnya. Model yang dipotretnya juga masih dalam pose yang wajar. "Di rumah waktu itu juga ada pembantu kami, pintu rumah terbuka, Abang sering melakukan pemotretan di rumah," kata Nada, Istri Yudha.

Sebagai photografer, atau memilih profesi photografer, tentunya bukan kegiatan ilegal yang berlawanan dengan hukum. Tak ada hukum apapun di dunia ini, yang melarang sesesorang menjadi photografer. Jadi, Yudha tidak dicambuk oleh karena dirinya seorang photografer.

Kedua, saat pengambilan photo itu, tiba-tiba datang tamu yang tak diundang. Puluhan orang kampung menuding dirinya melakukan kegiatan mesum. Yudha dituding sedang melakukan pemotretan telanjang. warga menghardik mereka.

Dari kisah itu, ada sejumlah orang yang berotak mesum mencurigai kegiatan Yudha dan menyusun skenario fitnah. Lalu mulailah melakukan penggeledahan, layaknya polisi. Kegiatan penggeledahan ini, pastinya tidak ada surat perintah, tidak ada kata Pro Justisia, lebih mirip demonstrasi tapi ini dengan muka-muka yang bengis.

Pertanyaannya, siapa yang memberikan mandat kepada warga untuk melakukan penangkapan dan penggeledahan? Sudah demikian jahiliyah-kah kita, sehingga bisa seenaknya menyerang, menangkap, melecehkan orang? Sudah demikian parahkah situasi negeri ini, sehingga hukum tak mampu melindungi penyerangan orang, dan bahkan yang diserang itu kemudian dicambuk?

Akankah kita kembali ke zaman tidak berperadaban, karena hukum tak melindungi properti dan hak-hak warga negara?

Baca kutipan ini: “Dalam pemeriksaan, sebenarnya polisi tak bisa menjerat Yudha dengan tudingan warga itu. Malah orang tua Bunga, melaporkan balik Sabirin, salah seorang Tuha Peuet, yang diduga melecehkan Bunga. Tapi karena takut diamuk massa, akhirnya polisi melimpahkan kasus Yudha ke Wilayatul Hisbah.” Semestinya, polisi menghentikan perkara Yudha tapi memproses perkara penyerangan ilegal oleh warga. Tetapi malah, karena lebih gampang, Yudha malah diserahkan ke WH.

Ketiga, dari kisah ini ada pelecehan serius terhadap perempuan sekaligus terhadap hukum positif yang berlaku di Indonesia. “Bunga sang model, malah ditarik-tarik dan dilecehkan. Nada, istri Yudha, menyaksikan, salah seorang anggota Tuha Peut Kampung Ajun Jeumpit, meremas dada dan memegang kemaluan Bunga. Selanjutnya Yudha dan Bunga digelandang warga ke markas kepolisian.”

Pelecehan terhadap perempuan sangat terang bisa dibaca dari deskripsi berita di atas, seorang facebooker menuding: “Mereka terbiasa melecehkan saudara perempuannya atau ibunya sendiri..”

Secara hukum negara dan agama, perbuatan pelecehan itu adalah nista dan melanggar hukum. Tetapi, seberapa berat hukuman yang akan diterima oleh orang yang semestinya bersalah itu? Belum ada yang tahu.

Keempat, jika kutipan berita ini benar, -- "Kami awalnya setuju biar warga tenang selama proses mediasi berlangsung, tapi tiba-tiba sudah ada putusan yang mengatakan Abang harus dicambuk," kata Nada.” – berarti hukum syariah itu negoisiasi. Jika itu yang terjadi, maka di mana kesakralan Syariahnya?

Saya mendengar, banyak sekali gosip yang menyebutkan, orang-orang yang ditangkap oleh WH dan atau warga diserahkan ke WH, kemudian bisa lepas setelah negoisasi.

Kelima, proses pencambukan itu, apakah sudah ada keputusan Mahkamah Syariah, -- sebagai institusi pengadilan yang melanggar hukum Tuhan? Sayang sekali, pemberitaan tidak menyebutkan keputusan Mahkamah Syariah tanggal berapa dan apa putusannya. Jika tidak ada putusan mahkamah, maka penghukuman terhadap Yudha dan Bunga, merupakan tindakan kejam yang merendahkan derajat kemanusiaan. Sebaiknya, Yudha dan Bunga harus melanjutkan kasus ini ke Komnas Hak Asasi Manusia, biar menjadi agenda nasional untuk memprosesnya lebih lanjut.

***

Saya seperti kebanyakan warga lain, miris dengan peristiwa ini. Syariah yang semestinya memberikan kenyamanan, kesejahteraan dan kepastian bagi umatnya dan setiap warga, berubaha menjadi momok yang menakutkan bagi semua orang. Ketika semua orang boleh mencurigai, melakukan penggeledahan, penangkapan dan bahkan menjadi penuntut bagi seseorang yang belum tentu bersalah, maka di situ setiap orang dibawa ke alam ketakutan dan kecemasan. Di situlah kita kembali bisa dianggap biadab.

Seseorang bisa seenak hati difitnah dan dijadikan tersalah yang kemudian tanpa mekanisme yang fair bisa dicambuk. Timbul pertanyaan sederhana, sudah sebegitu burukkah mental kita? Seberapa inginkah kita kembali, ke zaman homo homini lupus, di mana keadilan dipahami ketika yang kuat telah menghajar yang lemah.

Hukum acara pidana syariah, apakah sudah ada? Bagaimana memeriksa, menyelidiki, menyidik sebuah peristiwa hukum sehingga bisa menetapkan seseorang jadi tersangka dan memutuskan bersalah?

Lalu bagaimana mekanisme rehabilitasi seseorang yang sudah terlanjur ditetapkan bersalah, padalah ia tidak bersalah? Bagaimana mekanisme gantiruginya?

Dua hal terakhir ini sangat penting, untuk dipikirkan oleh pengemuka syariah Islam di Aceh, supaya Islam yang merupakan rahmatan lil alamin, tidak menjadi olok-olok pengamat tentang Aceh. Supaya syariah Islam tidak menjadi hukum olok-olok yang memalukan dan memilukan. []

Penulis adalah Advokat/Penasehat Hukum The Atjeh Post

Tulisan ini dipublikasikan The Atjeh Post, Sabtu 9 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar